Kamis, 10 September 2015

Keperawatan Pascaoperasi



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama periode pascaoperatif, proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kembali equibrium fisiologi pasien, menghilangkan nyeri, dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien dalam kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman, dan senyaman mungkin.
Upaya yang besar diharapkan pada mengantisipasi dan mencegah masalah pada periode pascaoperatif.pengkajian yang tepat mencegah komlikasi yang memperlama perawatan dirumah sakit atu membahayakan pasien.
Perawatan  pasca-operasi  pada  setiap  pasien  tidak  selalu  sama,  bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi. Monitoring lebih ketat dilakukan  pada  pasien  dengan  risiko  tinggi  seperti:  kelainan  organ,  syok  yang lama, dehidrasi berat, sepsis, dan gangguan organ penting, seperti otak.  Aktivitas keperawatan  kemudian  berfokus  pada  peningkatan  penyembuhan  pasien  dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan  yang penting untuk penyembuhan  dan rehabilitasi serta pemulangan  (Baradero et al,  2008).  Tindakan keperawatan  yang  dilakukan  pasca-operasi  terdiri  dari  8  tindakan  yang  meliputipengelolaan  jalan  napas,  monitor  sirkulasi,  monitoring  cairan  dan  elektrolit, monitoring  suhu  tubuh,  menilai  dengan  aldrete  score,pengelolan  keamanandan kenyamanan pasien, serah terima dengan petugas ruang operasi dan serah terima dengan petugas ruang perawatan (bangsal) (Rothrock, 1990).
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara perawat menangani pasien pasca operasi?
2.      Bagaimana asuhan keperawatan pasca operasi.

1.3  Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah :
a)      Tujuan Umum   :      Agar mahasiswa dapat mengungkapkan pola pikir yang ilmiah dalam melaksanakan asuhan keperawatan  pascaoperatif.
b)      Tujuan khusus : Agar mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisa data, menetapkan diagnosa keperawatan, merencanakan tindakan, mengimplementasikan tindakan sesuai rencana dan mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien pascaoperatif.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1      Keperawatan Pascaoperasi
            Tahap  pasca-operasi  dimulai dari memindahkan pasien dari ruangan bedah ke  unit  pasca-operasi  dan  berakhir  saat  pasien  pulang.  Pada  tahap  ini  perawat berusaha  untuk  memulihkan  fungsi  pasien  seoptimal  dan  secepat   mungkin (Baradero  et al,  2008).  Pasca-operasi  adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan  berakhir sampai evaluasi selanjutnya (Wibowo, 2001). 
            Pada  perawatan  pasca-operasi  diperlukan  dukungan  untuk  pasien, menghilangkan  rasa  sakit,  antisipasi  dan  mengatasi  segera  komplikasi, memelihara  komunikasi  yang  baik  dengan  tim,  rencana  perawatan  disesuaikan dengan kebutuhan pasien (Lestari, 2008). Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan(bangsal)  setelah  dilakukan  operasi  terutama  yang  menggunakan  general aenesthesia,  maka  kita  perlu  melakukan  penilaian  terlebih  dahulu  untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang pemulihan (recovery room).
                        Pemindahan dari ruang operasi ke unit perawatan pasca-anastasia (PACU), yang juga disebut sebagai ruang pasca-anastesia (PARR). Memindahkan pasien pasca-operatif dari ruang operasi ke unit perawatan pasca-anastesia (PACU) adalah tanggung jawab ahli anastesi dengan anggota bedah yang bertugas. PACU biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Pasien yang masih dibawah pengaruh anastesia atau yang pulih dari anastesia ditepatkan di unit ini untuk kemudahan akses ke:
1.    Perawat yang disiapkan dalam merawat pasien pascaoperatif segera
2.    Ahli anastesi dan ahli bedah.
3.    Alat pemantau dan peralatan khusus, medikasi, dan penggantian.
Dalam lingkungan ini, pasien diberikan perawatan spesialis yang disediakan oleh mereka yang sangat berkualitas untuk memberikannya.
2.2      Tahapan Keperawatan Pascaoperasi
            Maid etal, (2011) membagi perawatan pasca-operasi meliputi  beberapa tahapan, diantaranya adalah:
a.         Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit perawatan pasca-operasi (RR: Recovery Room) memerlukan  pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan itu diantaranya  adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Letak  insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca  operatif dipidahkan. Selain itu pasien diposisikan sehingga ia tidak  berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke posisi lainnya. Posisi litotomi ke posisi horizontal atau dari posisi lateral ke posisi terlentang. Pemindahan  pasien yang telah dianastesi ke brankard dapat menimbulkan  masalah  gangguan vaskuler. Pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke barankard atau tempat tidur, gaun pasien yang basah (karena darah atau cairan lainnnya)  harus segera diganti dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi.
Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan  diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side-rail harus  dipasang untuk mencegah terjadi resiko injuri, untuk  mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab  perawat sirkuler dan perawat anastesia dengan koordinasi dari dokter  anastesi yang bertanggung jawab.

b.      Perawatan pasca-operasi di ruang pemulihan
Pasien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar (recovery  room: RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan). Perbandingan perawat-pasien saat pasien dimasukkan ke RR adalah 1:1 (Baradero et al, 2008)Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap kondisi pasien. Jenis  peralatan yang ada diantaranya  adalah alat bantu pernafasan: oksigen, laringoskop, set trakheostomi,  peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan  suction. Selain itu, di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk  mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti: apparatus tekanan  darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set  pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan  balutan bedah, narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase.
Pasien pasca-operasi juga harus ditempatkan pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti: pemindahan darurat. Kelengkapan yang digunakan untuk mempermudah perawatan, seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan. Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari RR adalah: fungsi pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yangadekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang, haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, nyeri minimal (majid etal, 2011).
Pasien tetap berada dalam RR sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu pasien telah mempunyai tekanan darah yang stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi O2 minimum 95%, dan tingkat kesadaran yang baik. Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan terjadinya situasi krisis antara lain: TD: tekanan sistolik < 90–100 mmHg atau > 150 - 160 mmHg, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg; heart rate (HR) : < 60 x /menit atau >  10 x/menit; suhu: suhu > 38,3 oC atau kurang < 35 oC; meningkatnya kegelisahan pasien dan pasien tidak BAK lebih dari 8 jam pasca-operasi (Gruendemann & Billie, 2005).
c.       Transportasi pasien ke ruang rawat (bangsal)
Transportasi pasien bertujuan untuk mentransfer pasien menuju ruang rawat dengan mempertahankan kondisi tetap stabil.  Jika anda dapat tugas mentransfer pasien, pastikan score pasca-operasi  7 atau 8 yang menunjukkan kondisi pasien sudah cukup stabil.  Waspadai adanya henti nafas, vomitus, aspirasi selama transportasi.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat transportasi klien:
1)      Perencanaan                    
Pemindahan  klien  merupakan  prosedur  yang  dipersiapkan  semuanya  dari sumber daya manusia sampai dengan peralatannya.
2)      Sumber daya manusia (ketenagaan)
           Bukan sembarang orang yang bisa melakukan prosedur ini. Orang yang boleh melakukan proses transfer pasien adalah orang yang bisa menangani keadaan kegawat-daruratan yang mungkin terjadi selama transportasi.

3)      Equipment (peralatan)
           Peralatan yang dipersipkan untuk keadaan darurat, misal: tabung oksigen, sampai selimut tambahan untuk mencegah  hipotermi harus dipersiapkan dengan lengkap dan dalam kondisi siap pakai.
4)      Prosedur
           Untuk beberapa pasien setelah operasi harus ke bagian  radiologi dulu dan sebagainya. Prosedur-prosedur pemindahan  pasien dan posisi pasien harus benar-benar diperhatikan demi keamanan dan kenyamanan pasien.
5)      Passage (jalur lintasan)
           Hendaknya memilih jalan yang aman, nyaman dan yang  paling singkat. Ekstra waspada terhadap kejadian lift yang macet dan sebagainya.

d.      Perawatan di ruang rawat  (bangsal)
 Ketika pasien sudah mencapai bangsal, maka hal yang harus  perawatlakukan, yaitu (Majid et al, 2011):
1.    Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage,  tube/selang, dan komplikasi.
2.    Manajemen luka
Amati  kondisi  luka  operasi  dan  jahitannya,  pastikan  luka  tidak  mengalami perdarahan abnormal.
3.    Mobilisasi dini
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM (range of motion), nafas dalam dan juga batuk efektif yang penting untuk  mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan lendir.
4.    Rehabilitasi
Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi  pasien kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam  latihan  spesifik yang diperlukan untuk memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala.
5.    Discharge planning
     Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi  kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu  dihindari  dan dilakukan sehubungan dengan kondisi/penyakitnya pasca-operasi.

2.3      Komplikasi  yang muncul pada pasien pasca-operasi
Menurut Rothrock  (1999),  Komplikasi  yang  akan  muncul  saat  pascaoperasi diantaranya:
a.    Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia,  pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan  superinfeksi (Smeltzer & Bare, 2001). Gagal pernapasan merupakan fenomena pasca-operasi, biasanya karena kombinasi kejadian.  Kelemahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi CO2sertakemudian narkosis CO2, terutama jika PO2  dipertahankan  dengan pemberian oksigen.

b.      Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah  jantung (Baradero et al, 2008).  Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70  mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi  dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan,  overdosis  obat  anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan reaksi hipersensivitas obat induksi,  obat  pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.Hipertensi  dapat  meningkat  pada periode induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi hipertensi  disebabkan oleh analgesik dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat (Baradero et al, 2008).

c.       Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuk sudut 20 derajat dari tempat  tidur  sementara  lutut  harus  di  jaga  tetap  lurus.  Penyebab  perdarahan harus  dikaji  dan  diatasi.  Luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan. Jika  perdarahan  terjadi,  kassa  st eril  dan  balutan  yang  kuat dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan pada posisi ketinggian jantung. Pergantian cairan koloid disesuaikan dengan kondisi pasien (Majid et al, 2011).Manifestasi klinis  meliputi gelisah, gundah, terus bergerak, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir  dan  konjungtiva  pucat  dan pasien  melemah. Penatalaksanaan pasien dibaringkan seperti pada posisi  pasien  syok, sedatif  atau analgetik diberikan sesuai indikasi,  inspeksi  luka  bedah,  balut  kuat  jika  terjadi  perdarahan pada luka operasi  dan transfusi darah atau produk darah lainnya.

d.      Hipertermia maligna
Hipertermi malignan sering  kali  terjadi pada pasien  yang  dioperasi. Angka mortalitasnya sangat tinggi lebih  dari  50%,  sehingga diperlukan penatalaksanaan yang adekuat. Hipertermi malignan terjadi  akibat  gangguan otot  yang  disebabkan oleh  agen anastetik. Selama  anastesi,  agen  anastesi inhalasi  (halotan, enfluran)  dan  relaksan  otot  (suksinilkolin) dapat  memicu terjadinya hipertermi malignan.


e.       Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 36,6 oC (normotermi : 36,6oC-37,5oC). Hipotermi yang tidak diinginkan mungkin saja dialami pasien sebagai akibat suhu rendah di kamar operasi (25oC-26,6oC), infus dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas dingin,  aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang  digunakan (vasodilator, anastetik umum, dan lain-lain).Pencegahan  yang  dapat  dilakukan  untuk  menghindari hipotermi  yang  tidak diinginkan  adalah  atur suhu  ruangan  kamar  operasi  pada  suhu  ideal  (25 oC - 26,6 oC), janganlebih rendah dari suhu  tersebut, caiaran  intravena  dan  irigasi dibuat  pada  suhu  37 oC, gaun  operasi  pasien  dan  selimut  yang  basah  harus segera diganti dengan gaun dan selimut yang kering.



BAB III
PEMBAHASAN

3.3          Asuhan  Keperawatan  Pasien  Pascaoperasi 
3.3.1        Pengkajian  Keperawatan pasca-operasi
Pengkajian adalah usaha untukmengumpulkan data-data  sesuai dengan respon  klien  baik  dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan  penunjang,wawacara, observasi dan dokumentasi secara bio-psiko-sosio-spiritual (Doenges, 2001). Pada saat melakukan pengkajian di  ruang  pulih,  agar  lebih  sistematis  dan lebih mudah dapat dilakukan monitoring B6  yaitu :
a.    Breath (nafas): sistem respirasi
            Pasien yang belum sadar dilakukan evaluasi seperti pola  nafas, tanda-tanda obstruksi, pernafasan cuping hidung, frekuensi nafas, pergerakan rongga dada:apakah  simetris  atau  tidak,  suara  nafas tambahan:  apakah tidak ada obstruksi total, udara nafas  yang keluar dari hidung, sianosis pada ekstremitas, auskultasi:  adanya wheezing atau ronki, saat  pasien  sadar:  tanyakan  adakah keluhan pernafasan,  jika tidak  ada keluhan: cukup diberikan O2, jika terdapat tanda-tandaobstruksi: diberikan terapi sesuai kondisi  (aminofilin,kortikosteroid, tindakan triple manuver airway).

b.      Blood (darah): sistem kardiovaskuler
            Pada  sistem  kardiovaskuler  dinilai  tekanan  darah,  nadi,  perfusi  perifer,  status hidrasi (hipotermi ± syok) dan kadar Hb.

c.       Brain (otak): sistem SSP
            Pada sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale) dan perhatikan gejala kenaikan TIK 4.
d.      Bladder (kandung kemih): sistem urogenitalis
            Pada sistem urogenitalis diperiksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine, untuk menilai: apakah pasien masih dehidrasi, apakah ada kerusakan ginjal saat operasi, gagal ginjal akut (GGA).
e.       Bowel (usus): sistem gastrointestinalis
            Pada  sistem  gastrointestinal diperiksa: adanya  dilatasi  lambung, tanda-tanda cairan bebas, distensi  abdomen,  perdarahan lambung  pasca-operasi,  obstruksi atau  hipoperistaltik,  gangguan  organ  lain,  misalnya: hepar,  lien,  pancreas, dilatasi  usus  halus.  Pada pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan, karena pasien bernafas dengan diafragma.
f.       Bone (tulang): sistem musculo skeletal
            Pada sistemmusculoskletal dinilai adanya tanda-tanda  sianosis, warna kuku, perdarahan post-operasi, gangguan neurologis: gerakan ekstremitas. Data pengkajian pasien pasca-operasi menurut American Society  of  Post Anesthesia Nurses  (ASPAN) dalam Baradero et al,  (2008):  jalan nafas, pernafasan,  sirkulasi, kardiovaskular (kecepatan dan irama EKG, tekanan  darah, suhu, dan keadaan kulit) pernafasan (kecepatan, irama,  bunyi nafas (auskultasi paru), oksimetri nadi, jalan nafas, dan  sistem pemberian oksigen), neurologis (respon terhadap stimulus,  bisa  mengikuti  perintah dan gerakan ekstermitas), ginjal (asupan  dan  haluaran, jalur intravena dan infuse,  irigasi dan drain  dan kateter).
3.3.2        Diagnosa Keperawatan Pasca-operasi
Diagnosa  keperawatan yang muncul  pada  pasien  post  operasi  meliputi (Baradero, 2008; Carpenitto, 2006; Nanda, 2010 dalam Majid et al 2011):
1.        Gangguan pertukaran gas, berhubungan dengan efek sisa anesthesia, imobilisasi, nyeri.
2.        Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka pemebedahan, drain dan drainage.
3.        Nyeri berhubungan dengan incisi pembedahan dan posisi selama pembedahan.
4.        Risiko injury berhubungan dengan effect anesthesia, sedasi, analgesi.
5.        Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan intra dan post operasi.

3.3.3        INTERVENSI
Diagnosa Keperwatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
1.        Gangguan pertukaran gas, berhubungan dengan efek sisa anesthesia, imobilisasi, nyeri


















2.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka pemebedahan, drain dan drainage.






















3.       Nyeri berhubungan dengan incisi pembedahan dan posisi selama pembedahan.

















4.      Risiko injury berhubungan dengan effect anesthesia, sedasi, analgesi.







































5.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan intra dan post operasi.























NOC :
Respiratory Status :
·           Gas exchange
·           Vital Sign Status
Kriteria Hasil :
·           Klien mampu mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
·           Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress  pernafasan
·           Tanda tanda vital dalam rentang normal

NOC :
·         Tissue Integrity
·         Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
·         Tidak ada luka/lesi pada kulit
·         Perfusi jaringan baik
·          Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya secara berulang
·         Klien mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan  perawatan alami









NOC :
·         Pain Level
·         Pain control
·         Comfort level
Kriteria Hasil :
·         Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).
·         Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).
·          Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

NOC : Risk Kontrol
Kriteria Hasil :
·         Klien terbebas dari cedera.
·         Klien mampu menjelaskan cara/metode untukmencegah injury/cedera.
·         Klien mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan/perilaku personal.
·         Mampumemodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury.
·         Mampu mengenali perubahan status kesehatan.



















NOC:
·         Fluid balance Hydration  Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
·         Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal.
·         Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
·          Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.



NIC: Airway Management
·         Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
·         Keluarkan sekret dengan batuk atau suction 
·          Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
·          Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
·         Kaji tanda-tanda vital pasien.



NIC : Pressure Management
·         Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar, hindari kerutan pada tempat tidur.
·         Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.
·         Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
·         Monitor kulit akan adanya kemerahan Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan. 
·         Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat.

NIC : Pain Management
·         Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
·         Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
·         Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri  pasien
·         Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.

NIC : Environment Management (Manajemen lingkungan)
·         Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
·         Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien.
·         Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.
·          Memberikan penerangan yang cukup.
·         Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
·         Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya  perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.

NIC : A Fluid management
·           Timbang popok/pembalut jika diperlukan.
·           Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
·           Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan.
·            Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian.
·            Monitor status nutrisi.
·           Dorong masukan oral.
·           Berikan penggantian nesogatrik sesuai output.
·           Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.

3.3.4        Evaluasi pasca-operasi
Untuk  mengevaluasi  berhasilnya intervensi keperawatan,  perlu dibandingkan antara perilaku pasien dan hasil yangdiharapkan  (Baradero et al,2008). Intervensi keperawatan dikatakan berhasil apabila pasien dapat:
a)        Mempertahankan  jalan  nafas  yang  paten,  dan  auskultasi  paru  yang tidak menunjukkan rales;
b)        Bisa batuk secara efektif;
c)        Mempertahankan frekuensi nadi dan tekanan darah pada tahap pra-operasi;
d)       Orientasi  yang  baik  terhadap  waktu,  orang,  tempat  dan  bisa  menggerakkan semua ekstermitas;
e)        Memiliki haluaran urin lebih dari 30 ml/jam dan tidak ada edema;
f)         Mengungkapkan  bahwa  nyeri  dapat  ditoleransi,  ekspansi  wajah  relaks,  dan tidak ada nyeri;
g)        Suhu tubuh dalam batas normal;
h)        Memiliki kulit utuh, tanpa lecet, kemerahan;
i)          Tidak ada mual-muntah, dapat minum sedikit-sedikit tanpa muntah;
j)          Menunjukkan tanda penyembuhan luka tanpa infeksi.











BAB IV
PENUTUP

4.1            Kesimpulan

1.      Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan psikologi kembali normal
2.      Periode postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkanrutinitas normaldan daya hidupnya
3.      Pedoman perawat pasca operatif harus sesuai dengan elemen-elemen seperti tanda-tanda vital perawatan luka, penanganan nyeri, posisi tempat tidur, pengantian cairan, diet

4.2              Saran
            Pada pasien post operasi sebaiknya pemberian nutrisi segera setelah operasi lebih diutamakan karena telah dibuktikan memiliki banyak keuntungan untuk mempercepat proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,  Linda  Juall-Moyet.  (2006).  Buku  Saku  Diagnosis  Keperawatan       Edisi 10. Jakarta: EGC
Doenges,  Marilynn  E.  (1999).  Rencana  Asuhan  Keperawatan.  Pedoman          untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta:           EGC
NANDA.  (2010).  Panduan  Diagnosa  Keperawatan  Definisi  dan  Klasifikasi.    Jakarta: Prima Medika
Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan).
PT EGC. Jakarta.

 Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.  Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I.
(terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran.   Bandung.

Guyton, Arthur C, Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit, EGC Penerbit         buku kedokteran, Jakarta, 1987.

Johnson., Mass. 1997. Nursing Outcomes Classification, Availabel on:        www.Minurse.com, 14 Mei 2004

McCloskey, Joanne C,. Bulecheck, Glor ia M. 1996.
Nursing Intervention Classsification (NIC). Mosby, St. Louise.

NANDA, 2002. Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2001
-2002), Philadelphia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar